Setiap penulis atau blogger sepertinya hampir bisa dipastikan pernah mengalami kondisi ini—bingung mau nulis apa.
Kita
sudah punya niat mau menulis suatu artikel untuk blog, atau menuliskan
suatu ide tertentu yang ada dalam benak, kita juga sudah duduk di depan
layar komputer atau laptop, tapi seiring waktu berlalu, artikel atau
tulisan itu tetap saja tidak mampu kita buat. Yang terjadi, kita malah
sibuk melakukan hal lain yang sama sekali tak ada sangkut-paut dengan
rencana penulisan kita.
Menurut Dyah Ayu Purnamasari a.k.a Itik Bali, kondisi semacam itu disebut
Phgstragetagtdeius Syndrome.
Saya tidak tahu dari mana cewek manis nan pintar ini menemukan istilah
tersebut, tetapi saya suka istilah ini, karena Phgstragetagtdeius
Syndrome sangat sulit dibaca, apalagi diucapkan. Tepat seperti itulah
kondisi ketika “bingung mau nulis apa”—suatu kondisi yang sulit
diungkapkan atau diceritakan.
Well, tidak selamanya orang
“bingung mau nulis apa” karena tidak punya ide. Yang sering, kondisi itu
justru terjadi karena kita memiliki ide terlalu banyak—sebegitu
banyaknya, sampai-sampai kita kebingungan mau menulis ide yang mana
dulu. Rasanya, uuuh, bingung!
Bahkan, menurut saya, kondisi tidak
punya ide malah lebih bagus daripada kondisi punya terlalu banyak ide.
Kenapa? Karena ketika tidak punya ide, maka jalan kita lurus terbentang
dengan jelas—yakni berupaya mencari ide. Begitu ide tertemukan, maka
pekerjaan selanjutnya juga jelas, yakni menuliskan ide itu. Setelah itu
selesai. Makan jadi enak, tidur jadi nyenyak.
Sebaliknya, ketika
memiliki terlalu banyak ide, maka kita akan sering kebingungan karena
menghadapi banyak jalan sekaligus. Ketika berhadapan dengan laptop atau
komputer, kita bukannya menghabiskan waktu untuk suatu ide tertentu,
tetapi seringnya malah menghabiskan waktu untuk menimbang, memikirkan,
merenungkan, dan memutuskan ide mana yang sebaiknya ditulis lebih dulu.
Jadinya
malah kita tidak bisa segera menulis, karena terlalu banyak memikirkan,
terlalu banyak menimbang, terlalu banyak ragu. Ketika kondisi semacam
itu sudah terjadi, makan pun jadi tidak enak, tidur jadi tidak nyenyak.
Jika ini terdengar mendramatisir, maka saya akan mengaku bahwa saya
sering mengalami kondisi semacam itu.
Dalam hal ide, mungkin bisa
dibilang saya belum pernah kehabisan ide untuk menulis. Bahkan, jika
dikira-kira, tumpukan ide dalam otak saya saat ini sepertinya cukup
mampu menghidupi blog ini hingga lima tahun ke depan—satu post per hari
tanpa henti—dengan catatan saya terus sehat, dan memiliki waktu yang
cukup, dan kiamat benar-benar tidak terjadi pada tahun 2012. :D
Selain
itu, seperti yang pernah saya ceritakan di post terdahulu, inbox email
saya bisa dikatakan mirip bank ide—karena di sana terkumpul usul, ide,
dan pertanyaan-pertanyaan atas berbagai hal, yang dikirimkan teman-teman
pembaca blog ini, yang dapat saya ubah menjadi tulisan atau posting.
Karenanya,
dengan modal ide yang sangat berlimpah seperti itu, problem saya bukan
kekurangan ide atau kebingungan mencari ide, tetapi justru kebingungan
memilah dan memilih ide mana yang sebaiknya digarap dan ditulis lebih
dulu.
Sejujurnya, saya sering duduk lama di depan komputer dengan
niat menulis sesuatu, tetapi kemudian malah asyik melakukan hal-hal
lain yang tidak ada sangkut-paut dengan rencana penulisan itu. Jika saya
introspeksi, hal semacam itu terjadi, seringnya, karena saya
kebingungan mau menulis ide yang mana dulu, jadinya malah tidak menulis
apa pun.
Itu baru ide untuk posting di blog. Belum lagi ide untuk
rencana penulisan naskah buku. Sebagai penulis, saya sudah menyiapkan
setumpuk ide untuk penulisan buku-buku saya hingga beberapa tahun ke
depan. Tetapi melimpahnya ide itu pun rasanya bukan menjadikan saya
tenang, tetapi justru membuat sering gelisah. Hampir setiap malam saya
sulit tidur karena memikirkan, “Apa umurku cukup untuk menuliskan semua
ide itu…?”
Ketika saya sampai pada pemikiran semacam itu,
biasanya mata benar-benar sulit dipejamkan, meski sebenarnya sudah
sangat mengantuk, meski badan rasanya sudah sangat capek. Yang biasanya
terjadi, saya bangun dari tempat tidur, pergi ke dapur untuk membuat
teh, lalu duduk sambil merokok, kemudian bengong. Menghitung waktu,
mengukur usia, menakar datangnya kiamat.
Dan, saya pikir, waktu
itulah saya mengalami Phgstragetagtdeius Syndrome, sebagaimana yang
disimpulkan Itik Bali dalam satu postingnya.
Lalu bagaimana mengatasi Phgstragetagtdeius Syndrome ini...??? Itu pula pertanyaan yang selama ini saya cari-cari jawabannya.
Ehmm....
Di
Spanyol, ada seorang penulis drama bernama Lope de Vega. Ia hidup
antara tahun 1562 sampai 1635—satu angkatan dengan Pedro Calderon de la
Barca, yang namanya mungkin lebih populer di kalangan anak muda.
Bagi
para penulis dan dramawan, Lope de Vega adalah penulis paling “dahsyat”
yang pernah lahir di muka bumi. Dia memiliki jumlah karya yang sulit
dinalar akal sehat. Bayangkan, seumur hidupnya, dia telah menulis lebih
dari 2.200 (dua ribu dua ratus) naskah drama—jumlah yang luar biasa
banyak itu diimbangi dengan kualitas yang tidak memalukan. Dalam hal
produktivitas, bahkan
Shakespeare sekali pun tak ada apa-apanya dibanding orang ini!
Nah,
saya penasaran setengah mati, bagaimana cara Lope de Vega bisa menulis
sebanyak itu? Karenanya, saya pernah menghabiskan waktu cukup lama untuk
melacak sumber-sumber yang dapat menguak rahasia produktivitasnya.
Hasilnya, berdasarkan sumber-sumber literatur yang dapat saya pelajari,
berikut inilah tiga rahasia di balik produktivitas Lope de Vega yang
luar biasa.
Pertama, Lope de Vega tidak pernah menghabiskan waktu
untuk surfing internet, tidak pernah update status di Facebook atau
Twitter dan semacamnya, tidak pernah mengirim dan mengecek email, tidak
pernah sibuk ngurusin blog, pendeknya tidak pernah online! Ya karena
waktu itu internet memang belum ada! :D
Kedua, Lope de Vega tidak
pernah disibukkan urusan menerima dan mengirimkan SMS dan segala
tetek-bengek menyangkut ponsel, apalagi ngurusin SMS “Ketik REG” dan
semacamnya, karena waktu itu memang ponsel belum diciptakan! :D
Ketiga,
dan ini rahasia paling “masuk akal”, Lope de Vega nyaris tidak pernah
tidur! Seumur hidupnya, dia terus aktif menulis, membaca, dan menulis
lagi, dan untuk menunjang kegiatan itu dia hanya tidur dalam jumlah yang
sangat sedikit, dalam waktu yang amat minim. Jadi kita bisa
membayangkan, jika untuk tidur yang bisa dibilang sangat penting saja
dia jarang melakukannya, apalagi untuk kegiatan lain yang tidak lebih
penting dibanding tidur...?
Setelah mengetahui ketiga rahasia di
atas, saya merasa tercerahkan sekaligus bingung. Tercerahkan, karena
saya jadi tahu resep apa yang dibutuhkan untuk bisa produktif. Tetapi
juga bingung, karena saya merasa kesulitan untuk dapat melakukannya!
Hari
gini, ketika internet sudah ada dalam genggaman tangan, dan akses dunia
maya tinggal disentuh ujung jari, rasanya sulit untuk bisa
menghindarkan diri dari aktivitas online. Seperti yang dibilang Saykoji,
dari bangun tidur sampai mau tidur kembali, rasanya kita terus ingin
terhubung dengan dunia maya, karena sepertinya internet sudah menjadi
kebutuhan (bukan lagi sekadar gaya hidup) manusia sekarang.
Begitu
pula ponsel. Piranti mungil yang sangat cerdas itu pun sekarang
fungsinya tidak lagi hanya untuk telepon dan SMS, tapi juga untuk
kebutuhan akses internet dan lain-lain. Karenanya, rasanya sulit untuk
mengikuti gaya hidup Lope de Vega yang benar-benar “steril” dari
internet dan ponsel—setidaknya bagi saya.
Nah, bagaimana dengan
resep ketiga, yakni mengurangi tidur? Sepertinya inilah resep “paling
masuk akal” yang dapat dilakukan—dan inilah yang sedang coba saya
praktikkan. Dalam hal menulis, sepertinya saya tidak lagi berkejaran
dengan deadline semata, tetapi juga dengan umur saya. Saya tidak ingin
mati dalam keadaan bingung karena masih ada ide yang belum sempat saya
tuliskan selama masih hidup.
Nah, waktu saya curhat masalah ini
pada Abigail, sohib saya yang agak sinting, dia menjawab, “Yeah, santai
aja, pal, nggak usah khawatir. Kalau pun kamu keburu mati sebelum sempat
menuliskan semua idemu, tulis aja ntar di akhirat. Siapa tahu di sana
ada penerbit yang mau nerbitin tulisanmu.”
Tentu saja Abigail
ngawur—karena dia memang suka ngawur. Tetapi, bagi para pembaca blog
ini, mohon maaf kalau post ini agak tidak jelas juntrungnya, karena saya
juga menulis post ini dalam keadaan dihinggapi Phgstragetagtdeius
Syndrome!