Asal Mulanya Pabrik Candu di Salemba
Banyak yang tidak tahu bahwa candu yang melemahkan orang, telah
lama dilegalisasi di Nusantara oleh pemerintah Hindia Belanda. Semasa
Gubernur Jenderal Van Imhoff di tahun 1745 didirikan sebuah yayasan bernama Societeit van den Amphioen Handel. Yayasan ini khusus bergerak dalam perdagangan candu. Amphioen / amfioen dalam bahasa Belanda adalah candu.
Menurut artikel Mimbar Seputro tanggal 20 November 2003, pada
akhir abad 19 di Batavia telah dibangun sebuah pabrik candu yang
diridhoi pembuatannya oleh gubernemen untuk melayani kebutuhan candu
Hindia Belanda. Soalnya monopoli candu memang memasukkan banyak uang ke
kocek gubernemen. Lokasi pabriknya berada di sebuah tanah “landgoed” –
atau tanah besar / perkebunan, yang diberi nama pondok Struiswijk.Menurut sejumlah literatur daerah tersebut dinamai Struiswijk, yang dapat diartikan kawasan Struis karena pemilik pertamanya adalah Abraham Struis, yang beristerikan seorang wanita kaya bernama Cornelia yang juga kerabat salah seorang anggota Raad van Indie dan juga tuan tanah, yaitu Hendrik de Moucheron. Tanah itu diwariskan kepada anaknya, Anna Struis yang menikah dengan Joan van Hoorn, yang belakangan menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Struiswijk kemudian dibeli oleh van Hoorn, dan sempat dijadikan sebagai tempat tinggal seniman Belanda Cornelis de Bruijn waktu melakukan perjalanan ke Indonesia di tahun 1705-1706.
Pada bulan Oktober 1707, van Hoorn membuat kebun percontohan untuk tanaman kopi. Lokasinya kira-kira berada di belakang kampus UI Salemba sekarang. Ia menulis dalam laporannya bahwa “Kopi Betawi adalah hasil kebun percontohan saya…” – rencananya akan dibuat undang-undang bahwa penduduk Hindia Belanda mesti menanam kopi dari kebun van Hoorn. Sayangnya kopi ini ternyata tidak cocok di tanam di Betawi karena kurang dingin hawanya.
Gagal menjadi Tuan Kopi, tanah yang luas itu mulai di oper-alih-milik. Penggalan tanah ini kemudian jatuh kepada Domine Kizenga seorang Pendeta Calvinis yang juga amat kaya raya dan memberi nama tanah barunya sebagai Tanah Padri.
Luas tanah ini makin lama makin menyusut dan pada akhir abad 18, yang disebut Struiswijk adalah Salemba sekarang.
Begitulah kisah awal kawasan Salemba dan di tahun 1901 Pemerintah Hindia Belanda membangun pabrik candu terbesar Indonesia di Struiswijk yang lokasinya di sekitar Fakultas Kedokteran UI sekarang. Lengkap dengan jalur kereta apinya untuk membawa berton-ton candu mentah dari pelabuhan ke pabrik tersebut.
Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah kecil “petite histoire” Indonesia, Volume 3,
“pabrik candu Salemba ini diserahkan oleh Jepang kepada Pemerintah
Indonesia pada bulan September 1945. Disana terdapat 24 ton opium mentah
dan 1 ton opium yang sudah diolah (2 drum dari masing-masing 500
liter). Pemerintah kemudian mendirikan Djawatan Tjandoe dan Garam yang dikepalai oleh ambtenaar yang telah bekerja di Opium en Zoetregie zaman Belanda dan zaman Jepang, yakni R. Moekarto Notowidigdo (kelak menjadi Duta Besar RI di Washington tahun 1954 kemudian Menteri Luar Negeri dan Duta Besar di New Delhi).”
Riwayat Awal Universitas Indonesia
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Badan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (BPTRI) didirikan di Jakarta. BPTRI memiliki tiga fakultas, yaitu Kedokteran dan Farmasi, Sastra, dan Hukum. Ketika tentara kolonial Belanda kembali menguasai Jakarta di akhir tahun 1945, BPTRI dipindahkan ke Klaten, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang. Pada tanggal 21 Juni 1946 NICA mendirikan sebuah Nood Universiteit atau Universitas Sementara di Jakarta.
Pada tanggal 21 Maret 1947, nama Nood Universiteit diganti menjadi Universiteit van Indonesie (UVI). Akhirnya, setelah Jakarta berhasil diambil alih kembali, pemerintah mengembalikan BPTRI ke Jakarta dan menggabungkannya dengan Universiteit van Indonesie, dan memberinya nama baru Universiteit Indonesia (UI).
UI secara resmi memulai kegiatannya pada tanggal 2 Februari 1950 setelah Ir. R.M.P. Soerachman Tjokroadisoerjo diangkat menjadi Presiden pertamanya. Di masa itu kegiatan Universitas Indonesia tersebar di lima kota, yaitu:
- UI Jakarta (Fakultas Kedokteran & Lembaga Pendidikan Jasmani, Fakultas Hukum & Ilmu Pengetahuan Masyarakat, Fakultas Sastra & Filsafat);
- UI Bogor (Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan);
- UI Bandung (Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik & Lembaga Pendidikan Guru Menggambar dan Fakultas Ilmu Pasti & Ilmu Alam);
- UI Surabaya (Fakultas Kedokteran & Lembaga Kedokteran Gigi); dan
- UI Makassar (Fakultas Ekonomi).
Di kemudian hari, tanggal 2 Februari 1950 dijadikan sebagai hari kelahiran Universiteit Indonesia. Pada tahun 1955, Undang-Undang No. 10 tentang pengubahan kata universiteit, universitet, dan universitit disahkan, sehingga sejak itu, Universiteit Indonesia secara resmi diubah namanya menjadi Universitas Indonesia. Kantor Presiden Universiteit Indonesia mula-mula berkedudukan di gedung Fakultas Kedokteran di Jl Salemba Raya no. 6 Jakarta.
Sementara itu bekas gudang candu (madat) dan garam di Salemba diserahkan oleh Jepang ke pemerintah Indonesia setelah proklamasi pada tahun 1945. Gudang candu tersebut kemudian menjadi milik Departemen Keuangan (yang membawahi Djawatan Tjandoe dan Garam). Pada akhir tahun 1950 kompeks bangunan bekas pabrik candu yang lokasi persisnya di Jalan Salemba Raya 4 diserahkan oleh Pemerintah kepada Universitas Indonesia. Setelah direnovasi yang memakan waktu lebih kurang satu tahun, kantor Presiden Universitas Indonesia dipindahkan ke salah satu ruangan di kompleks gedung di Jalan Salemba Raya 4.
Sampai bulan April 1951 sebagian dari bangunan tersebut masih digunakan Djawatan Garam untuk membuat peti-peti dan karung bagor (Johannes, 1951). Ketika Sumitro Djojohadikusumo dipercaya untuk memangku jabatan sebagai Menteri Keuangan pada masa Kabinet Wilopo, ia berhasil meminta kepada pemerintah agar sebagian dari gedung candu yang belum diserahkan kepada UI, dijadikan gedung Fakultas Ekonomi. Permintaan Soemitro dikabulkan, sehingga sejak saat itu Fakultas Ekonomi mempunyai gedung, ruang kuliah serta ruang perpustakaan sendiri. (Cahyono Heru, dkk, 2000: 186). Sebelum itu tempat kuliah mahasiswa FEUI tersebar di beberapa tempat seperti di aula Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jl. Tambak no. 2, di Gedung Adhuc Stat, J1. Taman Surapati No. 2 (sekarang gedung Bappenas), dan di Gedung Kesenian Pasar Baru.
Kampus UI Salemba 4 di sebelah utara berbatasan dengan Gang Kenari. Disana ada stasiun Kenari yang merupakan simpangan jalan kereta api yang memotong dan Cikini ke Salemba. Sekarang bekas stasiun itu menjadi Pasar Kenari. Di sebelah selatan berbatasan dengan Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit Tjipto Mangunkusumo. Sementara di sebelah timur berbatasan dengan Jl. Salemba Raya dan di sebelah barat berbatasan dengan sungai Ciliwung. Komplek Salemba 6 menjadi satu kesatuan dengan Rumah Sakit Umum Pusat.
Universitas Indonesia di Ibukota Negara
Pada dasa warsa pertama, Universitas Indonesia tumbuh dan
berkembang sangat cepat. Tahun 1954 Universitas Indonesia di Surabaya
menjadi cikal bakal Universitas Airlangga, sedangkan UI di Makassar
tumbuh menjadi Universitas Hasanuddin pada tahun 1956. Tiga tahun
kemudian (tahun 1959) UI di Bandung berubah statusnya menjadi Institut
Teknologi Bandung. Empat tahun kemudian (tahun 1963) UI di Bogor
berkembang menjadi Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1963 itu
pulalah semua kegiatan Universitas Indonesia dijalankan di Ibukota
Negara.
Pada tahun 1964 terjadi beberapa perubahan dan pembangunan di Salemba
4 dan Salemba 6. Di tahun 1964 tersebut UI membuka Fakultas Teknik
(FTUI) sementara gedung dan fasilitas perkuliahan sudah sangat tidak
memadai. Kebetulan di salah satu areal di kompleks Salemba 4 ada tanah
milik perusahaan Djawatan Kereta Api yang dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan perkuliahan FTUI. Rektor UI dr. Sjarif Thajeb lalu mengurus
pembebasan tanahnya dan menginstruksikan Ir. Roosseno, Ir. Sutami dan
Ir. Slamet Bratanata, yang masing-masing bertindak selaku Dekan,
Pembantu Dekan I bidang Pendidikan dan Pembantu Dekan II bidang
Administrasi dan Keuangan FTUI untuk membangun gedung Fakultas Teknik di
lokasi tersebut. Gedung Fakultas Teknik itu terletak di belakang kantor
Pegadaian, berbatasan dengan Pasar Kenari.Ke arah barat, kemudian dibangun percetakan, Fakultas Ekonomi, Fakultas Teknik dan laboratorium mesin yang merupakan bengkel Fakultas Teknik. Sementara tanah di sebelah selatannya, di bagian belakang dibebaskan pada masa Prof. Dr. Soemantri dan dilaksanakan oleh Drs. Mustain Zaini dan Ir. Diyan Sigit. Pembangunan FTUI, selain didukung oleh proyek Ir. Rooseno, juga dibantu oleh Ir. Sutami melalui Hutama Karya.
Di samping itu Fakultas Ekonomi juga membangun perpustakaan dan di Fakultas Teknik dibangun gedung Pascasarjana Studi Laser dan Opto-elektronika yang merupakan hasil kerjasama antara UI dan pemerintah Jepang. Pembangunan terus berjalan, pada tahun 1970-an di bagian barat – Fakultas Ekonomi dibangun gedung SEAMEO, yang merupakan gedung tropical medicine untuk Fakultas Kedokteran. Untuk keperluan penerbitan juga dibangun UI Press, yang merupakan sumbangan dari World Bank. Sumbangan dari World Bank untuk UI Press tidak hanya pembangunan gedung saja melainkan dilengkapi dengan sarananya (peralatan cetak).
Pembangunan di bagian depan Kampus UI Salemba 4, yang berbatasan dengan jalan masuk, dibangun Mesjid UI “Arief Rahman Hakim”, dan gedung Rektorat. Sementara di belakang Rektorat juga dibangun MIPA. Di Salemba 6, dibangun gedung untuk bagian Patologi, yang berbatasan dengan Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo.
Awalnya Mesjid Arief Rahman akan dibangun di “dalam” yaitu di halaman belakang Kampus UI Salemba, di gedung UI Press (sekarang). Mesjid UI, Arif Rahman Hakim adalah karya Ir. Ali Basyah yang memenangkan lomba desain mesjid yang diadakan oleh Ir. Diyan Sigit, selaku pimpinan proyek pembangunan Kampus UI Salemba, yang dibantu oleh Dipl. Ing. Suyudi.
Selain Salemba 4 dan Salemba 6, UI masih memiliki lahan di Jl. Pegangsaan Timur. Lahan tersebut digunakan untuk asrama mahasiswa, Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Bagian Mikrobiologi FKUI. Sementara di seberang gedung bioskop Megaria, bekas kediaman Menteri Agama, H. Alamsyah Ratuprawiranegara, adalah tanah milik UI yang semula dihuni oleh pengajar-pengajar UI seperti Soetjipto, Kolibun, Enoch Markum dan Tjoe Siem. Kemudian tanah tersebut di-tukarguling (ruilslag) dengan 14 rumah untuk dosen di Tanah Tinggi, dan (7 rumah) di Tebet Barat, yang antara lain dihuni oleh Moela Marboen, dan Pandan Guritno. Sementara tanah UI yang lain yang juga ditukar guling adalah Gedung Perpustakaan Sosial Politik di Jl. Merdeka Selatan, ditukar dengan perumahan dosen yang ada di J1. Rawamangun Muka, yang antara lain didiami oleh Mundardjito, dan Royani pada tahun 1974.
Ketika Fakultas Sastra pindah dari Kampus Diponegoro ke Kampus Rawamangun pada tahun 1960, kampus itu antara lain telah dilengkapi dengan komplek perumahan dosen dan asrama mahasiswa yang dikenal dengan Daksinapati. Daksinapati adalah asrama mahasiswa pertama yang dibangun oleh pemerintah. Asrama tersebut dibangun pada akhir tahun 1952 atau awal tahun 1953. Kompleks Perumahan Dosen yang mula-mula dibangun yaitu yang berada di Jl. Rawamangun Muka, yang antara lain dihuni oleh Drs. Mustain Zaini, dr. Roekmono, Prof. Dr Harsja W, Bachtiar, Drs. Marsudi. Kemudian dibangun rumah flat yang juga berada di Jl. Rawamangun Muka, di samping asrama Daksinapati, yang antara lain ditempati oleh Koentjaraningrat, Leirissa, dan bahkan Fuad Hassan juga pernah tinggal di Flat tersebut. Kompleks dosen yang lain berada di kampus UI Rawamangun, terletak di depan kampus IKIP. Kondisi kampus UI Rawamangun di tahun 1960-an masih tergolong sepi, belum ada angkutan umum yang menuju arah Rawamangun, yang ada hanyalah beca. Tidak jarang para mahasiswa datang ke kampus dengan cara menumpang atau istilah yang akrab di telinga pada waktu itu adalah liften pada mereka yang mempunyai mobil, tak terkecuali kendaraan dosen pun di tumpanginya.
Kampus Rawamangun di sebelah utara berbatasan dengan di Jl. Pemuda, sebelah selatan berbatasan dengan Jl. Rawamangun, di sebelah timur dibatasi oleh pemakaman umum, dan di sebelah baratnya berbatasan dengan Jl. Raya By Pass. Antara By Pass dan UI terdapat tanah UI dan pura. Pada tahun 1964 dibangun dua rumah dinas Rektor yaitu Rektor Universitas Indonesia dan Rektor IKIP. Keberadaan IKIP di Rawamangun, karena IKIP pada saat itu masih bagian dari UI. Kampus Fakultas Sastra UI berhadapan dengan IKIP.
Dalam perkembangannya kemudian dibangun FISIP, Fakultas Hukum dan Fakultas Psikologi. Pembangunan Fakultas Psikologi di tangani oleh Ir. Tato Slamet, baik desain maupun pekerjaannya.
Sampai tahun 1987 semua fakultas yang bernaung di bawah UI tersebar di tiga kampus: Kampus Salemba (FK, FE, FKG, FMIPA, FT, Fasilkom, dan FIK), Kampus Pegangsaan Timur (FKM), dan Kampus Rawamangun (FH, FS, FPsi, FISIP).
Pencarian Lahan Selama Dua Belas Tahun (1962 – 1974)
Presiden Soekarno (Bung Karno), salah seorang Proklamator dan
Presiden Pertama Negara Republik Indonesia, merasa turut bertanggung
jawab terhadap perkembangan Universitas Indonesia. Sebagai perguruan
tinggi penyandang nama Bangsa, Universitas Indonesia sudah sewajibnya
peka dan tanggap terhadap tuntutan masyarakat dengan cara menyebarkan
dan menerapkan hasil ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang
dikembangkannya. UI juga dituntut untuk melaksanakan pendidikan
sebaik-baiknya dengan jalan memberikan kesempatan menuntut ilmu yang
seluas-luasnya kepada putra-putri Indonesia.
Ketika Kolonel dr. Sjarif Thajeb menjadi Rektor ke-5 UI, Presiden Soekarno sudah memprediksi pengembangan Kampus UI, dan telah memikirkan rencana memindahkan Kampus UI Salemba dan Rawamangun ke lahan yang jauh lebih luas dan memenuhi segala persyaratan untuk membangun kampus universitas yang dapat dibanggakan. Pada waktu itu Bung Karno telah melihat bahwa untuk jangka panjang, Kampus UI di Salemba dan Rawamangun akan dirasakan sangat sempit dan sukar untuk dikembangkan, mengingat Kampus Salemba letaknya di tengah kota sehingga sukar dan mahal untuk dikembangkan, sedangkan Kampus Rawamangun merupakan daerah banjir.
Pemikiran untuk mencari lokasi yang lebih luas dimulai sejak dr. Sjarif Thayeb memimpin Universitas Indonesia pada tahun 1962. Pencarian lahan di lokasi yang layak untuk membangun Kampus UI terus dilanjutkan oleh Prof. Dr. Ir. R.M. Soemantri Brodjonegoro yang menjabat Rektor ke-6 UI dan oleh Prof. Dr. Mahar Mardjono, Rektor ke-7 UI. Ada delapan lahan di DKI Jakarta Raya dan Propinsi Jawa Barat yang disurvei kelayakannya untuk menjadi Kampus UI yang dapat dibanggakan. Kedelapan lokasi tersebut adalah:
1) CIPUTAT (Kabupaten Tangerang, Propinsi Jawa Barat, sekarang Propinsi Banten).
Pada tahun 1964 Bung Karno menunjuk daerah Ciputat (di sekitar Situ Gintung) untuk pembangunan Kampus UI dengan luas lahan kurang lebih 200 hektare. Penunjukan Ciputat ditetapkan setelah Bung Karno mengadakan perjalanan keliling Jakarta dengan menggunakan helikopter. Dalam perjalanannya ia sempat membuat foto Ciputat dari udara, yang kemudian pada tahun 1965 ditindaklanjuti dengan mengadakan aero survey di daerah tersebut.
Dari 200 hektare tanah di Ciputat yang sedianya direncanakan untuk Kampus UI itu, ternyata baru lebih kurang 8,5 hektare yang dapat dibebaskan, namun dalam kenyataannya hanya tersedia kurang lebih 6 hektare. Penyelesaian pernbebasan tanah di Kabupaten Tangerang, dilakukan oleh Pembantu Rektor Bidang Administrasi dan Keuangan, Drs. Marsudi Djojodipuro (FE-UI). Sementara pengamanan lahan diserahkan kepada Drs. Mustain Zaini (FE-UI).
Pada tanggal 28 September
1965, Bung Karno meletakkan batu pertama dan menandatangani prasasti
pembangunan Kampus UI Ciputat di atas lahan seluas sekitar 6 hektare
tersebut. Diatas prasasti itu terpahat tulisan “PJM
Presiden Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Hadji Dr. Ir. Soekarno telah
meletakkan batu pertama Kota Universitas Indonesia di Tjiputat”.
Penandatanganan prasasti tersebut bersamaan dengan penyelenggaraan
Wisuda sarjana dan penerimaan mahasiswa baru UI. Namun pembangunan
kampus UI Ciputat tidak pernah terlaksana, karena dua hari setelah acara
peletakan batu pertama tersebut, terjadilah peristiwa Gerakan 30
September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Sementara itu, mengingat
sisa lahannya sangat terbatas, Soemantri Brodjonegoro merasa perlu untuk
memikirkan kembali lokasi yang memadai untuk pembangunan Kampus UI.
Lahan yang awalnya diperuntukkan bagi kampus Ul Ciputat kini telah
menjadi Kompleks Perumahan Dosen UI.2) KALIBATA (DKI Jakarta Raya)
Pada awal tahun 1970-an Soemantri Brodjonegoro meminta agar Kampus UI di Salemba dan Rawamangun segera dipindahkan. Permintaan ini disambut baik oleh Diyan Sigit yang ketika itu tengah melihat dan menjajaki kemungkinan dibangunnya Kampus UI di bekas kebun karet milik pabrik sepatu PT Bata yang berlokasi di belakang Taman Makam Pahlawan. Lokasi ini menjadi pertimbangan karena derahnya luas, sarana transportasi umum mudah, karena lokasinya tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Kalibata. Hasil penjajakan itu kemudian disampaikan kepada pimpinan UI, yang langsung menyetujui dan membicarakan dengan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin tentang kemungkinan membangun kampus baru Universitas Indonesia di atas lahan itu. Persetujuan lisan dari Gubernur DKI Jakarta direalisasikan dalam bentuk pengalokasian tanah seluas 120 hektare untuk UI. Namun lokasi kalibata tidak menjadi lokasi pilihan karena ada pemikiran baru dari Pimpinan Universitas Indonesia untuk menjajaki lokasi lain.
3) PASAR MINGGU (DKI Jakarta Raya)
Langkah selanjutnya yang ditempuh adalah melakukan penjajakan kedaerah Pasar Minggu, di belakang Kebon Binatang Ragunan. Daerah yang disurvai merupakan daerah hijau yang luas, dekat Kali Ciliwung, dan tidak jauh dari stasiun kereta api. Pembangunan Kampus UI di lahan itu akan sangat menguntungkan. Di sebelah Timur, lahan itu berbatasan dengan Kali Ciliwung, di sebelah Barat berbatasan dengan Kebon Binatang, di sebelah Utara dan Selatan terbentang lahan hijau yang kosong. Dengan demikian pengembangan pembangunan Kampus UI ke arah Utara dan Selatan masih sangat dimungkinkan.
Bang Ali (sapaan akrab untuk Gubernur DKI Jaya, Ali Sadikin) menyetujui daerah Ragunan (Pasar Minggu) dijadikan kampus UI. Ia kemudian mengalokasikan tanah untuk pembangunan Kampus UI kurang lebih seluas 200 hektare.
Tanggal 15 Januari 1974 peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari) pecah. Di akhir bulan Januari 1974, Prof. Dr. Ali Wardhana (Menteri Keuangan, Kabinet Pembangunan I-III yang merangkap Dekan FE-UI) mengundang Prof. Mahar Mardjono (yang diangkat pada tanggal 5 Desember 1973 sebagai Rektor ke-7 UI menggantikan Prof. Soemantri Brodjonegoro) ke Ruang Dekan FE-UI di Salemba Raya 4, Jakarta. Dalam pembicaraan itu, Prof. Ali Wardhana menyampaikan pesan khusus dari pemerintah yang intinya UI harus membangun kampus baru di luar Jakarta. Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, selaku Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri / Ketua BAPPENAS Kabinet Pembangunan pada saat itu diminta untuk merencanakan kepindahan tersebut dengan alasan keberadaan UI di Salemba sangat mengganggu jalannya pemerintahan. Ia juga mengharapkan agar kampus baru UI dapat dibangan di atas lahan seluas lebih kurang 600 ha sehingga kompleks perguruan tinggi itu dapat berbentuk suatu University Town, seperti yang telah dikemukakan Prof. Soepomo 23 tahun yang lalu. Selaku pimpinan UI, Prof. Mahar Mardjono menerima tawaran itu dengan satu pertanyaan: Dimana mendapatkan lahan luas yang memadai untuk digunakan sebagai kampus Ul?
Perjuangan Prof. Mahar Mardjono untuk mendapatkan lahan yang cocok untuk dijadikan kampus baru sangat berat dan panjang. Prof. Mahar Mardjono bersama dengan Drs. Mustain Zaini (Pembantu Rektor Bidang Administrasi dan Keuangan), Ir. Diyan Sigit, dan Ir. Tato Slamet mulai mencari lahan untuk kampus UI yang baru. Mencari lahan yang diidamkan ternyata tidaklah mudah, mereka kadangkala harus berjalan kaki untuk mencari lahan yang cocok. Lokasi berikutnya yang dijajaki adalah Semplak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
4) SEMPLAK (Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
Lahan yang ditawarkan Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Barat adalah Semplak, tetapi Pimpinan UI menolaknya. Meskipun di daerah lokasi terdapat perkebunan karet, namun sarana yang ada tidak menunjang.
5) DARMAGA (Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
Tawaran berikutnya adalah Darmaga (Bogor), yang menyarankan agar lokasi lahan Kampus UI digabung dengan lahan Kampus Institut Pertanian Bogor. UI sukar untuk menerima tawaran tersebut, karena Universitas penyandang nama Bangsa ini seyogyanya berdiri sendiri dan berkedudukan di wilayah Ibu Kota Negara.
6) RUMPIN (Kabupaten Tangerang, Propinsi Jawa Barat sekarang Propinsi Banten)
Sebagai gantinya ditawarkan daerah ke arah Tangerang, yaitu Rumpin, karena lokasi itu rawan banjir dan sulit pencapaiannya, maka pimpinan UI menolak.
7) CIBUBUR (DKI Jakarta Raya)
PEMDA DKI menawarkan daerah seluas kurang lebih 315 ha di Cibubur yang meliputi Bumi Perkemahan Pramuka, Kompleks Angkatan Darat, dan daerah bekas Lapangan Tembak. Namun Pimpinan UI tidak dapat menerima daerah itu karena lokasinya tidak memenuhi kriteria untuk pembangunan Kampus UI. Selain jarak dengan Bandara Udara Halim Perdanakusuma dekat, sehingga kemungkinan besar alat penelitian yang canggih dan peka akan terganggu (sound barrier), juga transportasi umum menuju ke lokasi kampus sulit.
8) GUNUNG PUTRI (Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
Tawaran selanjutnya adalah Gunung Putri. Namun daerah ini sudah direncanakan untuk dikembangkan sebagai daerah industri. Dengan demikian persiapan ke arah itu sudah dilakukan seperti akan dibangun jalan bebas hambatan (highway). Kendala lain yang mengakibatkan pihak UI menolak tawaran itu adalah polusi udara dari Pabrik Semen Cibinong.
PILIHAN TERAKHIR: DEPOK, LAHAN KAMPUS DI DUA PROPINSI
Delapan lahan yang dijajaki untuk pembangunan Kampus UI selama dua belas tahun baik di Ibu Kota maupun di propinsi Jawa Barat tidak cocok untuk lokasi Kampus UI yang diidamkan. Pada awal tahun 1974 Diyan Sigit melakukan survei ke arah Selatan Ibu Kota, dengan alasan bahwa harga tanah di daerah Depok, Cibinong, dan Bogor masih relatif lebih murah jika dibandingkan dengan harga tanah di daerah DKI Jaya. Selain itu, penduduk di daerah selatan Ibu Kota tidak begitu padat, transportasi mudah, dan banyak perkebunan yang hak gunanya (HGU) hampir berakhir.
Lahan yang disurvei ini merupakan lokasi ke-9 dalam pencarian tanah untuk membangun Kampus UI. Lokasi lahan seluas lebih kurang 360 ha ini mencakup dua propinsi, yaitu tanah di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jaga Karsa (Kota Madya Jakarta Selatan, DKI Jaya) dan tanah yang berlokasi di tiga desa (Pondok Cina, Kukusan, dan Beji) yang berbatasan dengan Kelurahan Srengseng Sawah, dan secara administratif terletak di wilayah Kecamatan Depok (Propinsi Jawa Barat). Lahan yang berlokasi di perbatasan dua propinsi ini, memenuhi segala persyaratan untuk membangun Kampus UI, karena selain sebagian lahannya masih terletak di wilayah Daerah Ibu Kota Jakarta Raya, juga mempunyai sejumlah potensi penunjang bagi pengembangan tridarma pendidikan tinggi.
Penjajakan awal yang dilakukan Diyan Sigit, adalah memasuki daerah tersebut melalui Stasiun Pondok Cina, ia melakukan serangkaian pengamatan termasuk keberadaan mata air. Dalam perjalanannya itu ia menemukan situ (sekarang menjadi danau dekat Gedung Balairung). Diyan Sigit terkesan dengan daerah yang ditemukannya dan kemudian ia membuat foto udara daerah yang ditemukannya. Daerah itu terekam sebagai daerah perkampungan, banyak pohon buah-buahan), perkebunan karet yang luas, dan ada rumah kuno milik penguasa perkebunan tersebut.
Lahan seluas 360 hektare ini memenuhi segala persyaratan untuk membangun dan mengembangkan Kampus UI, karena: (a) lahannya cukup luas; (b) sarana transportasi menuju lokasi kampus relatif mudah dengan kendaraan umum, ada stasiun kereta api (Stasiun Pondok Cina, kemudian dibangun Stasiun UI) yang dapat dicapai baik dari Jakarta Kota, Tanah Abang, Bekasi, maupun dari Bogor; (c) sarana air cukup baik; (d) jarak Salemba-Depok kurang lebih hanya 23 km, sehingga daerah ini masih dimungkinkan menjadi kota satelit Jakarta; (e) tidak ada masalah dengan lapangan terbang Halim Perdanakusuma dalam arti bahwa sound barrier tidak akan mengganggu alat peralatan penelitian yang canggih dan peka; dan (f) tanah tidak rata, ada kontur, dengan demikian jika ditangani dengan baik, tidak mungkin terancam banjir, bahkan dapat berfungsi untuk menciptakan suasana kampus yang segar, nyaman, indah dan kalau dibuat bendungan (Dam) akan rnerupakan danau-danau buatan yang dapat berfungsi sebagai tenaga air untuk listrik, dan rekreasi. Diyan Sigit kemudian menyampaikan dan mengusulkan hasil penjajakannya itu kepada Prof. Mahar Mardjono agar daerah tersebut dijadikan Kampus UI. Usul Diyan Sigit diterima baik oleh Prof. Mahar Mardjono dan kemudian Pimpinan Universitas menetapkan agar UI segera menjajaki kemungkinan untuk membangun Kampus UI di daerah perbatasan DKI Jaya dan Propinsi Jawa Barat itu.
Setelah menetapkan untuk membangun kampus di lahan tersebut diatas, UI segera menghubungi Gubernur DKI Jaya, Ali Sadikin dan Gubernur Jawa Barat, Solihin G.P. Ali Sadikin tidak berkeberatan dan membantu sepenuhnya untuk melepas sebagian tanahnya guna pembangunan kampus UI. Namun Solihin G.P. belum dapat memutuskannya sehingga terjadi beberapa kali pembicaraan yang cukup alot dengan melibatkan wakil-wakil dari Direktorat Jenderal Cipta Karya (Departemen Pekerjaan Umum), Pemerintah Daerah Bogor, Bappeda Jawa Barat dan Jawatan Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Barat. Negosiasi yang dilakukan berbulan-bulan itu tidak mencapai kesepakatan sehingga permasalahannya disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Ketua Bappenas kepada Presiden Soeharto.
Sebagai realisasinya, keluarlah Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 187 tahun 1974; Nomor: Kep-1390/MK/IV/9/1974; Nomor: 0233/P/1974 tentang Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Kampus Baru Universitas Indonesia yang dikeluarkan pada tanggal 23 September 1974.
Namun lahan seluas 360 ha bagi rencana pembangunan kampus tidak dapat dipenuhi, karena pihak Jawa Barat telah memberikan ijin kepada Pertamina untuk menanam pipa gas di bagian selatan desa-desa Kukusan dan Pondok Cina, sehingga lahan yang tersisa hanya kurang lebih 315 hektare.
Proses selanjutnya seperti pembebasan lahan, perencanaan, perancangan hingga pembangunan fisik kampus baru UI di Depok memakan waktu beberapa tahun sebelum akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 5 September 1987 ketika Rektor UI dijabat oleh Prof. Dr. Sujudi.
Dalam pidatonya, Prof. Dr.
Sujudi menyatakan hingga tahun 1984, UI menempati kampus yang luasnya 15
hektar, terletak di Salemba, Pegangsaan Timur dan Rawamangun. Saat itu
sudah ada 12 Fakultas dengan 48 program studi dan 7 program diploma.
Luas kampus Depok 315 hektar dimana sebagian wilayah kampus berada di
wilayah Jakarta (75 hektar). Bangunan untuk gedung-gedung berada di
wilayah Depok. Untuk mencitrakan identitas ke-indonesia-an, bentuk
bangunan tiap-tiap fakultas disesuaikan dengan arsitektur rumah-rumah di
seluruh Nusantara, seperti rumah penduduk asli Kalimantan,
Baduy/Kanekes, Jawa Barat, Jawa Tengah dan lain-lain. Lahan kampus
seluas 138 hektar diperuntukkan bagi hutan kota untuk penghijauan dan
penghasil udara yang bersih. Gubernur Jawa Barat Yogie S. Memet yang
juga mewakili Gubernur DKI Jakarta dalam pidatonya menyatakan Daerah
Botabek di Jawa Barat dipersiapkan untuk menjadi penyangga perkembangan
pembangunan yang terjadi di Ibukota, termasuk pembangunan kampus baru UI
di Depok. Untuk mengantisipasinya telah ada kerjasama antara pemerintah
Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi DKI Jakarta. Sementara Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan mewakili warga UI menyatakan
terima kasih secara khusus kepada Presiden RI dengan peresmian Kampus
Baru UI Depok.