Alasan yang Berlabel Negeri Lebih di Minati di Bandingkan Swasta
DALAM tiga minggu terakhir, berasa trenyuh baca artikel berita soal
panitia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) alias pendaftaran siswa
baru di sekolah-sekolah swasta Samarinda. Setelah sekian hari
pendaftaran dibuka, boro-boro ngomongin soal kuota siswa pada tahun
ajaran baru, eh yang datang dan menunjukkan minat bersekolah di sana
cuma kurang dari sepuluh orang. Di sisi lain, ada ribuan nama yang
harap-harap cemas ingin diterima di sekolah-sekolah negeri, apalagi yang
menyandang predikat favorit. Entah sesuai dengan minat dan kapasitas
belajar si anak, atau hanya sekadar menghindari label “anak sekolahan … yang di mana tuh?” Pendaftaran Sekolah Favorit
Skemanya, giliran sudah positif nggak diterima di sekolah negeri, dan
kalender pendidikan tahun ajaran baru makin dekat, baru kalang kabut
mendaftarkan (atau didaftarkan) di sekolah-sekolah swasta yang kurang
diminati. Itupun dengan prinsip: “ya sudahlah, ketimbang nggak sekolah.”
Bahkan nggak sedikit yang berusaha mati-matian agar anaknya yang nggak
diterima, bisa diterima, entah dengan cara yang seperti apa. Untungnya,
tahun ini skema penerimaan siswa baru tidak lagi dengan tes, melainkan
dengan penyusunan peringkat nilai Ujian Nasional (UN), kembali seperti
metode penerimaan hingga tahun 2002 (kalo nggak salah).
Masih ada stigma, dengan menjadi siswa di sekolah negeri apalagi yang
favorit, akan menjamin kualitas si siswa. Sedangkan bersekolah di
swasta non populer hanya akan membuat siswa begitu-begitu saja. Walaupun
ada juga yang beralasan bahwa dengan bersekolah di tempat yang
terkenal, menjamin gengsi dan prestise sosial. Peduli setan dengan
kualitas lulusannya kemudian.
Sementara itu, perihal kualitas pendidikan yang disuguhkan di setiap
sekolah memang berbeda, tapi bukan berarti semua sekolah yang ada di
Samarinda nggak bisa dibuat berkualitas. Berkualitas pada porsinya
masing-masing, tanpa membuat satu sekolah harus berpatron pada sekolah
lain yang kebetulan sudah punya aura superioritas dalam kategorisasi
gengsi dan prestasi. Pendaftaran Sekolah yang Sepi
Ada banyak sekolah swasta di Samarinda, dan sebagian besar merupakan
sekolah yang dipandang tidak hanya sebelah mata, tapi dengan kelopak
mata yang hampir tertutup, dan selalu dihantui ancaman pembubaran setiap
tahunnya bila siswa di tahun ajaran baru tidak memenuhi kuota yang ada.
Walaupun masih ada juga dua tiga sekolah swasta lain yang tetap
digemari, memiliki kelompok konsumennya (baca: orangtua siswa) sendiri,
dan tidak pernah kekurangan pendaftar setiap tahunnya. Sekolah-sekolah
swasta tersebut malah menjadi alien di antara sekolah-sekolah swasta
yang lain. Karena mereka memiliki status yang sama namun dengan
antusiasme berbeda dari masyarakat.
Sampai pada poin ini, saya adalah orang yang (tanpa bukti empiris
apapun) yakin bahwa kualitas dan dedikasi guru lah yang bisa memberikan
perubahan bagi siswanya, dan pada akhirnya memberikan perubahan bagi
kondisi sekolah itu sendiri. Sekolah yang buruk, pasti memiliki guru
yang asal-asalan. Sedangkan sekolah buruk yang memiliki guru
berkualitas, masih memiliki harapan untuk terbenahi. Walaupun
seringkali, guru-guru yang berkualitas bisa dengan mudah “dibajak”
(seperti dikompas preman) sekolah-sekolah yang sudah terkenal untuk
menambah keterkenalan sekolah tersebut. Iming-imingnya, penghasilan dan
fitur profesi yang lebih baik dibandingkan di sekolah swasta tempat awal
mereka mengajar.
Pada checkpoint ini, dengan menggunakan guru sebagai
parameter kualitas pendidikan, jelas sekolah swasta bakal memiliki
kemungkinan yang tipis untuk bisa fokus membenahi kondisi dan
meningkatkan kualitasnya. Wong, agent of change-nya sudah
telanjur dibawa minggat. Si guru juga wajar bersikap realistis sih.
Sebagai seseorang dengan kemampuan menilai mana yang lebih baik untuk
nafkah hidup, itulah yang dipilih. Jadi, sekolah negeri favorit bakal
tetap menjadi favorit dan makin dikenal, karena piawai menambah tim
pengajarnya dengan orang-orang yang berkapabilitas istimewa. Sedangkan
sekolah swasta tetap menjadi sekolah kelas dua kuadrat, karena nggak
benar-benar sempat berubah dan berbenah.
Poin berikutnya. Masih ingat dengan dua tiga sekolah swasta dengan
segudang penggemar yang sudah disebutkan sebelumnya? Kenapa mereka bisa
memiliki kondisi yang berbeda dibanding sekolah swasta yang lainnya?
Jawabannya, mungkin terletak pada something external.
Tanpa langsung melihat kualitas pendidikan yang diberikan dan
dedikasi guru yang mengabdi di dalamnya, sekolah-sekolah swasta yang tak
bakal kehabisan siswa setiap tahunnya itu ternyata memang berbenah, dan
terus meningkatkan pamornya lantaran … KEPERCAYAAN.
Sekolah negeri dan berlabel favorit memperoleh segudang formulir
pendaftaran lantaran orangtua siswa percaya bahwa sekolah tersebut bisa
membuat anaknya pintar, dan bisa dibanggakan. Kenyataannya, status
“negeri” dan gelar “favorit” yang melekat pada sekolah tersebut makin
mempertebal alasan untuk percaya (bahwa sekolah tersebut memang sangat
bagus). Sedangkan untuk sekolah swasta, asumsinya, nama yang asing dan
status yang entah, diakui atau disamakan, membuat rasa percaya dari
orangtua siswa ibarat harta temuan yang berharga, alias jarang ada.
Dua tiga sekolah swasta yang mendapatkan kepercayaan dari orangtua
siswa itu bisa jadi disebabkan oleh kedekatan personal. Kebetulan
sekolah-sekolah swasta tersebut berdiri sebagai sekolah dari yayasan
keagamaan. Orangtua yang menyekolahkan anaknya di sana, kebanyakan juga
merupakan alumni sekolah yang sama. Jadi, teorinya, orangtua
mempercayakan pendidikan anak-anak mereka di sekolah swasta itu karena
mereka juga pernah mengalami pendidikan di sana. Mungkin pada masa-masa
mereka bersekolah dulu, kualitas dan keadaan sekolah swasta itu tidak
jauh beda dengan sekolah swasta kebanyakan yang ada saat ini. Namun
terbantu dengan label eksternal.
Kemudian, masih dengan teori yang sama, kepercayaan yang diberikan para orangtua siswa menjadi trigger
sekaligus bahan bakar untuk manajemen sekolah agar mengupayakan
peningkatan kualitas pendidikan di sekolah swasta itu. Secara perlahan
atau revolusioner, upaya tersebut berbuah menghasilkan predikat positif.
Karena secara langsung, kepercayaan orangtua menjadi beban untuk
pembuktian. Apalagi kepercayaan ini dibebatkan kepada institusi
pendidikan, yang sudah seharusnya akrab dengan penerapan tanggung jawab
dan komitmen terhadap publik.
Jadi, apa inti dari tulisan ini?
Pertama, sekolah swasta dipandang kurang baik karena stigma.
Kedua, guru adalah kunci untuk mengubah stigma tersebut.
Ketiga, upaya menuju perbaikan bisa diakselerasi lewat kepercayaan.
Lalu, kenapa saya tidak berbicara tentang siswa? Bukan bermaksud
berpihak, tapi siswa yang notabene anak-anak muda berkepribadian belum
dewasa dan cenderung labil, cenderung masih mudah untuk diarahkan oleh
guru yang memang memiliki kemampuan. Satu contoh, pelajaran matematika
umumnya dibenci, namun dengan guru yang piawai dan tidak mengintimidasi,
ternyata nggak sedikit siswanya yang menguasai matematika, atau
setidaknya menyukai sosok guru matematika itu. Minimal, mereka belajar
tanpa rasa benci dan menghindari. That’s better. Terakhir,
kalau memang ada siswa yang bebal, itu ibarat intan kasar, ada yang bisa
diasah menjadi berlian indah, namun ada yang ternyata tidak bisa diasah
namun tetap bisa indah dengan gaya yang berbeda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar